PotretBisnis.com, Tanjungbalai – Tuntutan 9 tahun penjara terhadap Rahmadi (34) dalam sidang narkotika di Pengadilan Negeri Tanjungbalai, Selasa (23/9/2025), semakin menegaskan ironi dalam penegakan hukum. Kuasa hukum menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) kehilangan nurani karena tetap memaksakan tuntutan di tengah banyaknya kejanggalan kasus.
Sejak awal, perkara ini penuh tanda tanya. Barang bukti berupa sabu seberat 10 gram disebut bukan milik Rahmadi, melainkan milik tersangka lain bernama Andre yang ditangkap hampir bersamaan.
“Barang bukti itu dialihkan untuk menjerat klien kami,” ujar Thomas Tarigan, penasihat hukum Rahmadi.
Kecurigaan semakin kuat setelah dua saksi polisi memberi keterangan berbeda soal lokasi penemuan sabu. Bripka Toga M. Parhusip menyebut barang itu ditemukan di bawah jok depan mobil Rahmadi, sementara Gunarto Sinaga menegaskan letaknya di bawah kursi pengemudi. Perbedaan itu sempat dipertanyakan majelis hakim, namun tak pernah mendapat penjelasan tuntas.
Meski demikian, dalam tuntutannya, jaksa menuliskan versi berbeda lagi. Sabu seberat 10 gram itu ditemukan di bawah kursi supir penumpang.
“Padahal pemeriksaan sidik jari bisa membuktikan kebenaran materil. Klien kami bahkan meminta agar sidik jarinya dicocokkan, tetapi tidak dilakukan,” kata Thomas.
Keanehan lain juga muncul. Ponsel Rahmadi disita tanpa pernah ada laporan digital forensik. Setelah penyitaan, saldo Rp11,2 juta dalam rekening M-Banking miliknya hilang begitu saja. Selain itu, mobil yang menjadi lokasi penemuan sabu sudah berada dalam penguasaan polisi sebelum barang bukti tersebut diklaim ditemukan.
Meski berlapis kejanggalan, jaksa tetap menuntut Rahmadi 9 tahun penjara.
“Ini bentuk hilangnya hati nurani. Menuntut seseorang atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya adalah bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegas Thomas.
Pihak kuasa hukum berjanji akan melaporkan JPU ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan. Laporan dugaan rekayasa kasus juga sudah masuk ke SPKT Polda Sumut dan Bidpropam, menunggu gelar perkara di Ditreskrimum Polda Sumut.
Di ruang sidang, emosi Rahmadi tak terbendung. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan keberatannya di hadapan majelis hakim. Namun Ketua Majelis Hakim Karolina Selfia Sitepu menegaskan keberatan itu harus dituangkan dalam pledoi pada 7 Oktober 2025 mendatang.
Keluarga Rahmadi yang hadir di persidangan menyebut kasus ini penuh rekayasa. Mulai dari barang bukti, uang yang raib, hingga dugaan penganiayaan saat penangkapan. Mereka mendesak Kapolri turun tangan.
“Ini bukan perkara kecil. Kalau Kapolri diam, keadilan di mata rakyat akan mati,” ujar kakak Rahmadi.
Kini, kasus Rahmadi bukan sekadar soal tuntutan 9 tahun. Bagi sebagian warga Tanjungbalai, perkara ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik hukum yang dianggap timpang. Sementara sabu bisa berpindah tangan, nurani justru seolah ikut menghilang.